Header Menu




banner



Kisah empat satria sakti

Tersebutlah seorang guru sakti bersama 3 orang muridnya, Saat kesaktian para muridnya sudah sangat tinggi, sang guru tahu bahwa beliau harus segera pergi. Untuk itu beliau harus mempercayakan perguruannya kepada penerusnya. Setelah itu, Sang Guru akan memasuki tahap selesai dari misi hidupnya, yaitu; pergi melanglangbuana. Pertanyaannya adalah; kepada siapa beliau harus menunjukkan kepercayaan itu? Ketiga muridnya sama-sama sakti. Sama-sama baik. Dan sama-sama hebat. Akhirnya, Sang guru memutuskan untuk menunjukkan tiga jenis ujian.
Ujian pertama menjatuhkan sebutir telur dari puncak tebing menimpa kerikil cadas, namun telur itu tidak pecah. Ini peran yang paling gampang. Kedua, mengosongkan air di telaga dengan menggunakan jari telunjuk. Tentu yang ini agak sulit. Dan yang ketiga, membuat ukiran
hati masing-masing pada lempengan besi hanya dengan menggunakan tatapan mata. Pastilah tantangan ketiga ini yang paling sulit dilakukan. Sedangkan untuk meneyelesaikan semua tantangan itu, mereka hanya diberi waktu selama tiga hari. Barangsiapa bisa menyelesaikan
ujian itu; maka beliau mendapatkan warisan perguruan tinggi beserta seluruh aset yang ada didalamnya.

Dihari yang ditentukan, para murid menghadap Sang Guru. Lalu Sang Guru memberi kesempatan kepada murid pertama untuk menunjukkan semua yang sudah dilakukannya. Dia membawa telur ayam itu dalam keadaan utuh, sedangkan kerikil cadas yang tertimpa hancur berantakan. Pastilah beliau memiliki ilmu gingkang yang sangat tinggi sehingga bisa
dipindahkan kepada sebutir telur. Lalu, beliau menunjukkan telaga yang kering kerontang. Tak setetes pun air yang masih tersisa didalamnya. Membuktikan bahwa beliau bisa melaksanakan pekerjaan besar hanya dengan menggunakan telunjuknya. Kemudian, beliau menyerahkan sebongkah besi baja yang berukir hati dengan ukuran yang sangat besar. Ini menandakan bahwa tatapan matanya begitu berpengaruh sehingga baja sekalipun
tunduk kepadanya.

Sang Guru kemudian berkata; "Muridku, ukuran hati kau begitu besarnya. Mengapa bisa demikian?""Guru," sang murid sakti menjawab, "saya memiliki kebesaran hati untuk menjalani segala sesuatu dalam hidup ini." lanjutnya. "Saya tidak gentar menghadapi apapun. Karena saya yakin bahwa saya bisa menyelesaikan segala sesuatu dengan baik." Dia menjelaskan dengan
semangat yang berapi-api. Sangat terasa aura kebesaran hati yang dipancarkannya.

Murid kedua mendapatkan gilirannya. Dia menunjukkan semua bukti kesaktiannya, ibarat murid pertama. Namun, goresan hati dalam lempengan besi itu ukurannya sangat kecil sekali, sampai nyaris tidak kelihatan. Sang guru bertanya;"Muridku, saya lihat ukuran hati kamu
sebegitu kecilnya. Mengapa bisa demikian?"
"Guru," jawab sang murid sakti, "ciut hati saya kalau harus melaksanakan suatu keburukan. Saya sangat takut kalau harus melaksanakan hal-hal yang melanggar norma dan etika." Lanjutnya. "Saya tidak memiliki cukup keberanian untuk mempertaruhkan kehormatan." Dia menjelaskan dengan mata berkaca-kaca. Sangat terasa aura kerendahan hati yang dipancarkannya.

Lalu, tibalah giliran murid ketiga. Dia membawa telur utuh, dan kerikil karang yang hancur lebur. Dia juga menunjukkan lempengan baja yang berlubang membentuk hati. Namun, dikala ditanya ihwal telaga, sang murid menjawab; "maaf guru, saya tidak mengosongkan telaga itu," katanya. "Mengapa?" begitu Sang Guru bertanya.

Sang Murid mengatakan bahwa setelah berhasil menyelesaikan peran paling mudah – menjatuhkan telur diatas kerikil cadas – beliau berpikir untuk pribadi menyelesaikan peran yang paling sulit, yaitu; mengukir hati pada lempengan besi hanya dengan menggunakan tatapan mata. Sebab, kalau peran paling mudah dan paling sulit bisa dituntaskan, pasti peran yang sedang-sedang saja bisa terselesaikan. "Tetapi," kata Sang Guru, "Kamu tetap harus membuktikannya terlebih dahulu."

"Benar, Guru," jawab sang murid. "Semula saya berpikir untuk mengeringkan telaga itu. Tetapi," lanjutnya. "Setelah membuat lubang tembus pandang berupa hati dibesi itu; seolah saya bisa memasukinya, dan tiba-tiba saja saya mencicipi hati saya berbicara." katanya.

"Apa yang dikatakan oleh hatimu?" tanya Sang Guru.Sang murid menceritakan bahwa goresan hati pada baja itu berkata; "Setelah ujian paling sulit kau taklukan, pastilah kau bisa menyelesaikan ujian yang lebih mudah. Tetapi, kalau kau menyelesaikan ketiga ujian itu, maka kau menjelma sombong," katanya. "Saya tidak ingin hati ini menjelma sombong," lanjutnya. "Jadi, saya memutuskan untuk tidak mengeringkan telaga itu."

"Aku mengerti," kata Sang Guru. "Namun, tahukah kau bahwa tidak melakukannya berarti kehilangan kesempatan untuk mendapatkan warisan perguruan?" Sang murid mengangguk. Dia mendapatkan konsekuensi atas keputusannya. "Bukankah kau tahu bahwa mewarisi perguruan tinggi ini merupakan dambaan semua orang?" Sang Guru meyakinkan. Sang murid kembali mengangguk. "Bukankah dengan mewarisi perguruanku, kau akan mempunyai kedudukan tinggi dan dihormati?" Lanjut Sang Guru. Sang murid tetap pada keputusannya; melepaskan kesempatan memiliki perguruan tinggi itu.

Lalu, Sang Guru membagi dua perguruan tinggi itu. Setengahnya diberikan kepada muridnya yang memiliki ukuran hati besar. Diperguruan itu, kemudian beliau mengajarkan ihwal optimisme, semangat pantang menyerah, dan kebesaran hati. Setengahnya lagi diberikan kepada muridnya yang mempunyai ukuran hati sangat kecil. Diperguruan itu, kemudian beliau mengajarkan ihwal menjaga kehormatan, menjauhi keburukan, dan memupuk kerendahan hati. Itulah sebabnya, mengapa sangat mudah bagi kita untuk menemukan guru yang mengajarkan ihwal kebesaran hati. Juga mudah untuk menemukan guru yang mengajarkan ihwal kerendahan hati. Dari kedua perguruan tinggi itu, orang-orang kemudian berguru berjiwa besar dan menjaga kesucian diri. Lalu menggabungkan kedua sikap itu untuk menimbulkan dirinya; insan berkemampuan tinggi yang memiliki akal pekerti.

Muridnya yang ketiga? Dia tidak mendapatkan sedikitpun dari warisan perguruan. Sebab, setiap orang harus mendapatkan konsekuensi atas tindakan dan keputusan yang diambilnya. Namun, dari semua yang sudah dilakukannya, beliau mendapatkan hadiah lain; Sang Guru membawanya pergi
melanglangbuana. Itulah sebabnya, guru yang membimbing kita cara membaca aba-aba hati; tidak selalu mudah dicari. Karena, guru ibarat itu jarang menetap. Mereka melanglangbuana. Menjelajah hidup. Dan tak terikat ruang dan waktu. Namun, dikala hendak pergi, Sang Guru
berkata kepada kedua murid pewaris perguruannya; "Meskipun tak kelihatan, namun kami tetap berada didalam hatimu." Katanya. "Jika kalian ingin menemui kami, maka kalian tahu dimana harus mencari...." Lalu, kedua orang sakti itu memudar. Menyatu dengan udara. Kemudian terbang bersama angin. Mereka pergi melanglangbuana.....




Belum ada Komentar untuk "Kisah empat satria sakti"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel