Header Menu




banner



Ketika Tangan dan Kaki Berkata (sebuah artikel ihwal Krismansyah Rahadi)

Penyair Taufiq Ismail menulis sebuah artikel wacana Krismansyah Rahadi (Chrisye) (1949-2007) di majalah sastra HORISON.
Krismansyah Rahadi (1949-2007):
KETIKA MULUT, TAK LAGI BERKATA

Di tahun 1997 saya bertemu Chrisye sehabis sebuah acara, dan beliau berkata, ”Bang, saya punya sebuah lagu. Saya sudah coba menuliskan kata-katanya, tapi saya tidak puas. Bisakah Abang tolong tuliskan liriknya?” Karena saya suka lagu-lagu Chrisye, saya katakan bisa. Saya tanyakan kapan mesti selesai. Dia bilang sebulan. Menilik kegiatan saya yang lain, deadline sebulan itu bolehlah. Kaset lagu itu dikirimkannya, berikut keterangan berapa baris lirik diperlukan, dan untuk setiap larik berapa jumlah ketukannya, yang akan diisi dengan suku kata. Chrisye menginginkan puisi relijius.

Kemudian saya dengarkan lagu itu. Indah sekali. Saya suka betul. Sesudah seminggu, tidak ada ide. Dua minggu begitu juga. Minggu ketiga inspirasi masih tertutup. Saya mulai gelisah. Di ujung minggu keempat tetap buntu. Saya heran. Padahal lagu itu cantik jelita. Tapi kalau ide memang macet, apa mau dikatakan. Tampaknya saya akan telepon Chrisye keesokan harinya dan saya mau bilang, ” Chris, maaf ya, macet. Sori.” Saya akan kembalikan pita rekaman itu.
Saya punya kebiasaan rutin baca Surah Yasin. Malam itu, ketika hingga ayat 65 yang berbunyi, A’udzubillahi minasy syaithonirrojim. ”Alyauma nakhtimu ’alaa afwahihim, wa tukallimuna aidhihim, wa tasyhadu arjuluhum bimaa kaanu yaksibuun” saya berhenti. Maknanya, ”Pada hari ini Kami akan tutup ekspresi mereka, dan tangan mereka akan berkata kepada Kami, dan kaki mereka akan bersaksi wacana apa yang telah mereka lakukan.” Saya tergugah. Makna ayat wacana Hari Pengadilan Akhir ini luar biasa!

Saya hidupkan lagi pita rekaman dan saya bergegas memindahkan makna itu ke larik-larik lagi tersebut. Pada mulanya saya ragu apakah makna yang sangat berbobot itu akan mampu masuk pas ke dalamnya. Bismillah. Keragu-raguan teratasi dan alhamdulillah penulisan lirik itu selesai. Lagu itu saya beri judul Ketika Tangan dan Kaki Berkata.

Keesokannya dengan lega saya berkata di telepon,” Chris, alhamdulillah selesai”. Chrisye sangat gembira. Saya belum beritahu padanya asal-usul inspirasi lirik tersebut. Berikutnya hal tidak biasa terjadilah. Ketika berlatih di kamar menyanyikannya gres dua baris Chrisye menangis, menyanyi lagi, menangis lagi, berkali-kali.

Di dalam memoarnya yang dituliskan Alberthiene Endah, Chrisye – Sebuah Memoar Musikal, 2007 (halaman 308-309), bertutur Chrisye:
Lirik yang dibuat Taufiq Ismail ialah satu-satunya lirik dahsyat sepanjang karier, yang menggetarkan sekujur badan saya. Ada kekuatan misterius yang tersimpan dalam lirik itu. Liriknya benar-benarbenar mencekam dan menggetarkan. Dibungkus melodi yang begitu menyayat, lagu itu bertambah susah saya nyanyikan! Di kamar, saya berkali-kali menyanyikan lagu itu. Baru dua baris, air mata saya membanjir. Saya coba lagi. Menangis lagi. Yanti hingga syok! Dia kaget melihat respons saya yang tidak biasa terhadap sebuah lagu.
Taufiq memberi judul pada lagu itu sederhana sekali, Ketika Tangan dan Kaki Berkata. Lirik itu begitu merasuk dan membuat saya dihadapkan pada kenyataan, betapa tak berdayanya insan ketika hari tamat tiba. Sepanjang malam saya gelisah. Saya karenanya menelepon Taufiq dan menceritakan kesulitan saya. ”Saya mendapatkan ide lirik itu dari Surat Yasin ayat 65...” kata Taufiq. Ia menyarankan saya untuk damai ketika menyanyikannya. Karena sebagaimana bunyi ayatnya, orang memang sering kali tergetar membaca isinya.
Walau sudah ditenangkan Yanti dan Taufiq, tetap saja saya menemukan kesulitan ketika mencoba merekam di studio. Gagal, dan gagal lagi. Berkali-kali saya menangis dan duduk dengan lemas. Gila! Seumur-umur, sepanjang sejarah karir saya, belum pernah saya mencicipi hal menyerupai ini. Dilumpuhkan oleh lagu sendiri!
Butuh kekuatan untuk mampu menyanyikan lagu itu. Erwin Gutawa yang sudah senewen menunggu lagu terakhir yang belum direkam itu, pribadi mengingatkan saya, bahwa keberangkatan ke Australia sudah tak mampu ditunda lagi. Hari terakhir menjelang ke Australia, saya lalu mengajak Yanti ke studio, menemani saya rekaman. Yanti sholat khusus untuk mendoakan saya.
Dengan susah payah, karenanya saya mampu menyanyikan lagu itu hingga selesai. Dan tidak ada take ulang! Tidak mungkin. Karena saya sudah menangis dan tak sanggup menyanyikannya lagi. Kaprikornus bila sekarang Anda mendengarkan lagu itu, itulah bunyi saya dengan getaran yang paling autentik, dan tak terulang! Jangankan menyanyikannya lagi, bila saya mendengarkan lagu itu saja, rasanya ingin berlari! Lagu itu menjadi salah satu lagu paling penting dalam deretan lagu yang pernah saya nyanyikan. Kekuatan spiritual di dalamnya benar-benarbenar meluluhkan perasaan. Itulah pengalaman batin saya yang paling dalam selama menyanyi.

Penuturan Chrisye dalam memoarnya itu mengejutkan saya. Penghayatannya terhadap Pengadilan Hari Akhir sedemikian sensitif dan luarbiasanya, dengan saksi tetesan air matanya. Bukan main. Saya tidak menyangka sedemikian mendalam penghayatannya terhadap makna Pengadilan Hari Akhir di hari tamat zaman kelak. Mengenai menangis menangis ketika menyanyi, hal yang serupa terjadi dengan Iin Parlina dengan lagu Rindu Rasul. Di dalam konser atau pertunjukan, Iin biasanya cuma berpengaruh menyanyikannya dua baris, dan pada baris ketiga Iin akan menunduk dan membelakangi penonton menahan sedu sedannya. Demikian sensitif beliau pada shalawat Rasul dalam lagu tersebut.

* * *

Setelah rekaman Ketika Tangan dan Kaki Berkata selesai, dalam peluncuran album yang saya hadiri, Chrisye meneruskan titipan honorarium dari produser untuk lagu tersebut. Saya enggan menerimanya. Chrisye terkejut. ”Kenapa Bang, kurang?” Saya jelaskan bahwa saya tidak orisinil menuliskan lirik lagu Ketika Tangan dan Kaki Berkata itu. Saya cuma jadi daerah lewat, jadi kanal saja. Kaprikornus saya tak berhak menerimanya. Bukankah itu dari Surah Yasin ayat 65, firman Tuhan? Saya akan bersalah mendapatkan sesuatu yang bukan hak saya.
Kami jadi berdebat. Chrisye mengatakan bahwa beliau menghargai pendirian saya, tetapi itu merepotkan administrasi. Akhirnya Chrisye menemukan jalan keluar. ”Begini saja Bang, Abang tetap terima fee ini, biar manajemen rapi. Kalau Abang merasa bersalah, atau berdosa, nah, mohonlah ampun kepada Allah. Tuhan Maha Pengampun ’kan?”
Saya pikir jalan yang ditawarkan Chrisye betul juga. Kalau saya berkeras menolak, akan kelihatan kaku, dan mampu ditafsirkan berlebihan. Akhirnya solusi Chrisye saya terima. Chrisye senang, saya pun senang.

* * *

Pada subuh hari Jum’at, 30 Maret 2007, pukul 04.08, penyanyi legendaris Chrisye wafat dalam usia 58 tahun, setelah tiga tahun lebih keluar masuk rumah sakit, termasuk berobat di Singapura. Diagnosis yang mengejutkan ialah kanker paru-paru stadium empat. Dia meninggalkan isteri, Yanti, dan empat anak, Risty, Nissa, Pasha dan Masha, 9 album proyek, 4 album sountrack, 20 album solo dan 2 filem. Semoga penyanyi yang lembut hati dan pengunjung masjid setia ini, tangan dan kakinya kelak akan bersaksi wacana amal salehnya serta menuntunnya memasuki Gerbang Hari Akhir yang semoga terbuka lebar baginya. Amin. #

Ketika Tangan dan Kaki Berkata
Lirik : Taufiq Ismail
Lagu : Chrisye

Akan datang hari ekspresi dikunci
Kata tak ada lagi
Akan tiba masa tak ada suara
Dari ekspresi kita

Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita
Kemana saja beliau melangkahnya
Tidak tahu kita bila harinya
Tanggung jawab tiba

Rabbana
Tangan kami
Kaki kami
Mulut kami
Mata hati kami
Luruskanlah
Kukuhkanlah
Di jalan cahaya.... sempurna

Mohon karunia
Kepada kami
HambaMu yang hina
1997






Belum ada Komentar untuk "Ketika Tangan dan Kaki Berkata (sebuah artikel ihwal Krismansyah Rahadi)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel